Rabu, 15 Februari 2017

BELANJA MODAL: Untuk Kesejahteraan Masyarakat



PENDAHULUAN
Beberapa penelitian terdahulu di pemerintah daerah Indonesia  (lihat, Zebua, 2014;  Mizra, 2012; Hendarmin, 2012; Paramita, 2012; Setyowati dan Yohana, 2012; Amalia, 2013; Rachmana, 2013) telah menunjukkan bahwa belanja modal berkaitan erat dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat, dalam hal ini diukur dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Meskipun, terdapat pula penelitian menunjukkan sebaliknya bahwa belanja modal tidak memiliki hubungan dengan IPM (seperti Ingrid, 2010; Badrudin, 2011; Syahril, 2011; Mawarni dkk., 2013; Irwan dan Karmini, 2016; Dewi dan Supadmi, 2016). Selanjutnya, Bank Dunia pada akhir tahun 2011 telah mengingatkan kepada Pemerintah Indonesia bahwa belanja modal dapat berpengaruh terhadap kinerja berbagai badan pemerintah. Karena apabila Pemerintah Indonesia mampu untuk melakukan belanja modal secara bijaksana, maka diharapkan akan mampu memberikan multiplier effect dalam perekonomian nasional (Halim, 2014:225). 
Berdasarkan Permendagri Nomor 59 Tahun 2007 tentang perubahan Permendagri Nomor 13/2006 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, dijelaskan bahwa belanja modal adalah pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pengadaan aset tetap berwujud yang mempunyai nilai manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan atau satu tahun. Struktur APBD pada komponen belanja daerah, belanja modal merupakan output APBD yang paling dapat mempengaruhi pembangunan khususnya IPM. Sifat belanja modal yang berupa aset tetap dan bernilai manfaat jangka panjang menjadikan belanja modal sebagai modal/pondasi untuk meningkatkan pembangunan dalam sektor kesehatan, pendidikan dan kemampuan daya beli masyarakat karena mempercepat akses hubungan antar pelaku ekonomi sehingga biaya transaksi dapat diminimalkan (Lugastoro, 2013).
Pada teori agensi di sektor publik, kinerja pemerintah dinilai melalui anggaran yang dibuatnya, sehingga diharapkan pengeluaran pemerintah yang menyentuh pada fungsi pelayanan kepada masyarakat, yang berwujud dalam belanja modal, harus mendapatkan porsi yang relatif besar (Halim, 2014:226). Lalu, pengelolaan belanja modal bukan merupakan pekerjaan yang mudah bagi seorang manajer di suatu entitas pemerintah di daerah, contohnya seorang kepala daerah. Seorang manajer harus paham betul asas yang berlaku serta ukuran kinerja untuk menilai keberhasilan setiap kegiatan dari belanja modal. Kegiatan belanja modal merupakan bagian dari suatu bentuk pengelolaan keuangan daerah yang harus dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efektif, efisien, ekonomis, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan, kepatuhan, dan memberikan manfaat untuk masyarakat (Halim, 2014:229). Lebih lanjut Halim (2014:229) mengemukakan bahwa terdapat beberapa ukuran keberhasilan dari kegiatan belanja modal adalah lima tepat, tepat mutu, tepat jumlah, tepat waktu, tepat sasaran, dan tepat harga. Artikel ini mencoba mengeksplorasi hasil-hasil penelitian terdahulu, berkenaan dengan peran pemerintah daerah dalam mengelola  belanja modal dan hubungannya dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat, yang dalam konteks artikel ini di lihat dari IPM.

BELANJA MODAL
Belanja modal menurut Halim (2008:4) adalah investasi baik berupa pengadaan atau pembelian aset yang memiliki masa manfaat dua belas bulan dan aset ini digunakan dalam kegiatan pemerintahan yang bermanfaat secara ekonomis, sosial, dan manfaat lain, sehingga meningkatkan kemampuan pemerintah dalam melayani masyarakat. Investasi untuk memenuhi kepentingan layanan publik memiliki jenis yang berbeda. Subiyanto dalam Halim (2008) membagi investasi tersebut menjadi dua kelompok, yaitu sarana prasarana dan fasilitas umum lainnya, sehingga investasi ini tidak memeroleh aliran kas masuk untuk menutup biaya, namun justru melayani akitivitas sektor ekonomi lainnya dan terkadang berubah menjadi pusat biaya (Badrudin, 2012:69).
Belanja modal berdasarkan Permendagri No.13 Tahun 2006 pada awalnya diartikan sebagai pengeluaran APBD yang digunakan untuk pembelian/pengadaan atau pembagunan aset tetap berwujud yang memiliki nilai manfaat lebih dari dua belas bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan, seperti dalam bentuk tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan jaringan, dan aset tetap lainnya. Kemudian ketentuan mengenai definisi belanja modal direvisi melalui Permendagri No. 59 Tahun 2007, sehingga belanja modal adalah pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pengadaan aset tetap berwujud yang memiliki nilai manfaat lebih dari dua belas bulan untuk digunakan dalam melaksanakan program dan kegiatan pemerintahan daerah. Berdasarkan Permendagri No.59 Tahun 2007, nilai aset tetap yang dianggarkan dalam belanja modal sebesar harga beli/bangun aset ditambah seluruh belanja yang terkait dengan pengadaan/pembangunan aset sampai aset tersebut siap digunakan. Kepala daerah menetapkan batas minimal kapitalisasi sebagai dasar pembebanan belanja modal dan dianggarkan dalam RKA-SKPD pada masing-masing SKPD. Namun, belanja modal menurut Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap dan aset lainnya yang dapat memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Belanja modal secara spesifik dapat berupa tanah, peralatan atau mesin, gedung dan bangunan, jalan irigasi, jaringan atau modal lainnya (Halim 2008:113), sedangkan menurut Peraturan Pemerintah N0 71 Tahun 2010, belanja modal adalah seperti untuk perolehan tanah, gedung dan bangunan, peralatan, dan aset tak berwujud.
Pengalokasian belanja modal harus melalui pertimbangan, perkiraan, dan perhitungan yang panjang. Hal tersebut dikarenakan belanja modal membutuhkan biaya yang cukup besar dan pengembalian dalam jangka waktu yang tidak sebentar (Badrudin, 2012:65). Selain itu, belanja modal tersebut diyakini dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Halim (2014:225) menyatakan apabila pemerintah Indonesia mampu menggunakan belanja modal secara bijaksana, maka diharapkan akan memberikan efek multifier dalam perekonomian nasional. Hal serupa yang disampaikan oleh Soepangat (1991:52) bahwa peningkatan belanja modal yang menyebabkan peningkatan penyediaan layanan barang dan jasa publik kepada masyarakat akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, belanja modal dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat karena dengan adanya sarana prasarana dan fasilitas umum yang memadai, maka perpindahan barang atau pergerakan orang tidak akan terganggu, mengingat perekonomian akan tumbuh karena aspek mobilitas perpindahan barang dan pergerakan orang (Badrudin, 2012:69).

KESEJAHTERAAN MASYARAKAT
Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
Tahun 1990 United Nations Development Programme (UNDP) memperkenalkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang didefinisikan sebagai suatu indeks komposit yang mencakup tiga kebutuhan dasar dalam peningkatan kualitas pembangunan manusia antara lain indikator kesehatan, tingkat pendidikan, dan indikator ekonomi. Konsep IPM menurut UNDP dan Badan Pusat Statistik (BPS) mengacu pada pengukuran capaian pembangunan manusia didasari oleh komponen dasar kualitas hidup, yaitu capaian di bidang kesehatan yang diukur dalam indeks harapan hidup, capaian di bidang pendidikan dengan mengukur angka melek huruf pada penduduk usia 15 tahun ke atas dan mengukur rata-rata lama sekolah (rata-rata jumlah tahun yang telah dihabiskan oleh penduduk usia 15 tahun ke atas di seluruh tingkat pendidikan formal yang dijalani), dan indeks standar kehidupan yang layak, yang diindikasikan dengan daya beli/konsumsi riil perkapita (Dewi dan Supadmi, 2014).
IPM dapat mengetahui kondisi pembangunan di daerah dengan alasan IPM merupakan indikator penting dalam mengukur keberhasilan dalam pembangunan kualitas manusia. IPM menjelaskan tentang bagaimana manusia mempunyai kesempatan untuk mengakses hasil dari proses pembangunan, sebagai bagian dari haknya seperti dalam memperoleh pendapatan, kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan. IPM juga dapat digunakan sebagai pengukuran kinerja daerah dalam hal evaluasi terhadap pembangunan kualitas hidup masyarakat/penduduk. Meskipun menjadi indikator penting dalam mengukur keberhasilan dalam pembangunan kualitas hidup manusia, IPM belum tentu mencerminkan kondisi sesungguhnya namun untuk saat ini IPM merupakan satu-satunya indikator yang dapat digunakan untuk mengukur pembangunan kualitas hidup manusia (Dewi dan Supadmi, 2014). Perhitungan IPM disajikan dalam rumus berikut ini.
IPM = 1/3 (X1 + X2 + X3) ..……….………….…………………….(1)
Keterangan :
X1 = indeks konsumsi perkapita yang disesuaikan
X2 = indeks angka harapan hidup
X3 = indeks pendidikan = 2/3 (indeks melek huruf) + 1/3 (indeks rata- rata lama bersekolah)
Penetapan kategori IPM didasarkan pada skala 0,0-1,0 (Mudrajad, 2003 dalam Artaningtyas, 2011) terdiri dari : Kategori Rendah (nilai IPM 0-0,5), Kategori Menengah (nilai IPM antara 0,51 -0,79), dan Kategori Tinggi (nilai IPM 0,8-1) (Dewi dan Supadmi, 2014).

HUBUNGAN BELANJA MODAL DAERAH TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT
Belanja modal merupakan pengeluaran pemerintah yang digunakan untuk membangun infrastruktur yang menunjang program-program pemerintah untuk mensejahterakan rakyat (Zebua, 2014). Penelitian terdahulu (lihat (lihat  Zebua, 2014;  Mizra, 2012; Hendarmin, 2012; Paramita, 2012; Setyowati dan Yohana, 2012; Amalia, 2013; Rachmana, 2013) telah menemukan pengaruh positif dan signifikan belanja modal terhadap peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Seperti, penelitian yang dilakukan oleh Zebua (2014) dengan mengambil kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat, menunjukkan bahwa belanja modal berhubungan positif dengan IPM.
Hasil penelitian tersebut diatas, mengindikasikan bahwa pengelolaan belanja modal benar-benar memberikan manfaat bagi masyarakat. Selain itu, dari penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa pemerintah daerah dimana yang menjadi sampel penelitian tersebut, telah melaksanakan amanat sesuai dengan yang diamanatkan kepadanya. Yaitu, untuk melayani masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan mereka. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengelola belanja daerah khususnya belanja modal, mengingat belanja ini berkaitan erat dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Maka, pemerintah daerah benar-benar harus mempertimbangkan secara matang dan dengan penuh perhitungan agar alokasi belanja yang dicanangkan berdampak pada masyarakat. Salah satunya, dengan terus meningkatkan proporsi alokasi belanja modal lebih tinggi dari belanja-belanja lainya yang ada struktur APBD. Dengan kata lain, pemerintah daerah harus menjadikan belanja modal sebagai belanja prioritas dari belanja-belanja lainnya. Harapanya, dengan penambahan proporsi belanja modal akan memberikan kesempatan yang lebih banyak untuk melaksanakan program-program kegiatan yang sifatnya jangka panjang. Karena hal tersebut memberikan dampak secara langsung maupun tidak langsung pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Lain halnya, dengan hasil penelitian (lihat, Ingrid, 2010; Badrudin, 2011; Syahril, 2011; Mawarni dkk., 2013; Irwan dan Karmini, 2016; Dewi dan Supadmi, 2016) menunjukkan hasil yang bertolak belakang dengan penelitian diatas, yakni menemukan bahwa belanja modal tidak memiliki hubungan atau tidak berkorelasi dengan kesejahteraan masyarakat yang diukur dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Misalnya, penelitian Dewi dan Supadmi (2016) melakukan pengujian terhadap pengaruh alokasi belanja modal terhadap IPM di Kabupaten dan Kota Provinsi Bali. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa belanja modal tidak memiliki hubungan dengan IPM. Kegagalan belanja modal dalam memengaruhi IPM ini terjadi karena masih rendahnya alokasi belanja modal dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat serta alokasi belanja modal belum dilaksanakan dengan tepat sasaran (Dewi dan Supadmi, 2016).
Hasil penelitian-penelitian tersebut, memberikan arti bahwa pengelolaan belanja modal belum secara maksimal dikelola dengan baik oleh pemerintah daerah yang menjadi objek penelitan tersebut. Sehingga, perlu ada perbaikan pengelolaan belanja. Dalam hal ini, ketika dulunya pemerintah daerah lebih memperioritaskan belanja-belanja operasional, maka sekarang harus mengubah alokasi tersebut menjadi alokasi belanja produktif. Penekanan yang harus dilakukan pemerintah daerah tersebut, adalah dengan menjadikan belanja produktif atau belanja modal mereka sebagai prioritas belanja. Maksudnya, belanja modal dijadikan sebagai belanja yang harus dialokasikan terlebih dahulu daripada belanja-belanja operasional dan belanja lainnya. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah daerah untuk tetap menjadikan aturan-aturan daerah sebagai acuan pengalokasian belanja. Karena, dalam Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 telah diklasifikasikan belanja daerah menurut urusan pemerintahan. Menurut urusan, belanja dibedakan menjadi dua urusan yaitu urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib tersebut didalamnya dicanangkan belanja modal yang harus dijadikan sebagai kebijakan dalam penetapan mata anggaran daerah. Karena itu, pemerintah daerah harus menjadikan urusan wajib tersebut sebagai prioritas daerah dalam menetapkan kebijakan APBD.
Berdasarkan pada konsep IPM yang dibentuk dari tiga bidang yaitu kesehatan, pendidikan dan pendapatan. Maka, pembangunan melalui belanja modal pemerintah, memang sangat diperlukan sebagai pendorong peningkatan IPM. Misalnya dibidang kesehatan, yakni ketika pemerintah membangun infrastruktur kesehatan di daerah. Hal ini, akan memberikan peluang peningkatan kesehatan masyarakat. Karena, masyarakat mempunyai tempat untuk melakukan pemeriksaan kesehatan ataupun tempat untuk berobat ketika sakit, sehingga hal tersebut menyebabkan indeks lama hidup masyarakat akan meningkat. Hal serupa ketika pembangunan infrastruktur di bidang pendidikan diintesifkan pembangunannya di daerah-daerah. Hasil dari pembangunan infrastruktur pendidikan memberikan peluang bagi daerah terpencil dan daerah terbelakang dibidang pendidikan untuk meningkatkan taraf pengetahuan mereka. Begitupula, pembangunan infrastruktur berupa jalan, jembatan, irigasi, pelabuhan laut dan udara, dan pabrik. Pembagunan infrastruktur tersebut berdampak pada peningkatan pendapatan masyarakat. Misalnya, bagi pelaku ekonomi dengan dibangunnya infrastruktur tersebut, maka jumlah barang maupun jasa yang ditawarkan bertambah, kemudian lintas wilayah lebih luas, dan waktu tempu yang singkat. Sehingga hal tersebut meminimalisir biaya-biaya yang dikeluarkan pelaku ekonomi dalam memasarkan produk mereka.

PENUTUP
Belanja modal daerah merupakan salah satu kelompok belanja daerah berdasarkan jenisnya, memegang peranan yang sangat penting terhadap pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Karena dengan melakukan kegiatan belanja modal diasumsikan akan membawa multiplier effect bagi perekonomian suatu masyarakat dengan cara membangun jalan, jembatan, pabrik, dan sebagainya (Halim, 2014:235) yang berdampak pula pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu, seharusnya pemerintah daerah menjadikan alokasi belanja modal daerah menjadi sebagai prioritas dalam menyusun kebijakan anggaran.
Hasil penelitian (lihat, Zebua, 2014;  Mizra, 2012; Hendarmin, 2012; Paramita, 2012; Setyowati dan Yohana, 2012; Amalia, 2013; Rachmana, 2013) telah menunjukkan bahwa belanja modal berkaitan erat dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat, dalam hal ini diukur dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Walaupun hasil-hasil penelitian tersebut, masih menemukan tingkat hubungan yang masih sangat kecil dibawah 25% hubungan terhadap IPM. Namun, hasil tersebut cukup menjelaskan bahwa, memang ada hubungan antara belanja modal dengan peningkatan IPM. Sehingga, hal tersebut memberikan informasi kepada pemerintah daerah untuk lebih menekankan pengalokasian belanja modal lebih utama dibandingkan belanja lainnya. Karena, semakin besar proporsi belanja modal yang ditetapkan, maka diasumsikan akan memiliki hubungan semakin kuat pula terhadap peningkatan IPM. Meskipun, terdapat pula penelitian yang menunjukkan sebaliknya bahwa belanja modal tidak memiliki hubungan dengan IPM (seperti Ingrid, 2010; Badrudin, 2011; Syahril, 2011; Mawarni dkk., 2013; Irwan dan Karmini, 2016; Dewi dan Supadmi, 2016). Hasil penelitian tersebut memberikan informasi bahwa pengelolaan belanja modal daerah, belum menjadi prioritas pemerintah daerah bersangkutan. Selain itu, dapat pula disebabkan belanja modal yang dialokasikan tidak tepat sasaran. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah daerah untuk menjadikan belanja modal sebagai prioritas belanja dan mendapatkan porsi yang terbesar dari struktur belanja lainnya di APBD. Mengingat, belanja modal erat kaitannya dengan kesejahteraan masyarakat, yang dalam artikel ini dilihat dari peningkatan IPM.

DAFTAR PUSTAKA
Amalia. 2013. Analisis Pengaruh Belanja Modal terhadap PDRB Per Kpaita dan Implikasinya pada Kualitas Pembangunan Manusia. Tesis. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Tidak Dipublikasikan.
 Badrudin, Rudy. 2011. Pengaruh Pendapatan dan Belanja Daerah Terhadap Pembangunan Manusia Di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Buletin Ekonomi, Jurnal Manajemen, Akuntansi, Dan Ekonomi Pembangunan, 9(1), h: 23-30.
 Badrudin, Rudy. 2012. Ekonomika Otonomi Daerah. Yogyakarta: UPP YKPN
 Dewi, A. Agung I G dan Supadmi, l. Niluh. 2016. Pengaruh Alokasi Belanja Rutin dan Belanja Modal pada Indeks Pembangunan Manusia. E-Jurnal Akuntansi Universitas Udayana. Vol.14.1. Januari (2016). Hal: 695-722.
 Lugastoro, Dectra Pitron. 2013. Analisis Pengaruh PAD dan Dana Perimbangan terhadap Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten/Kota di Jawa Timur.
 Halim, Abdul. 2008. Analisis Investasi (Belanja Modal) Sektor Publik-Pemerintahan Daerah. Penerbit UP AMP YKPN: Yogyakarta.
 Halim, Abdul. 2014. Manajemen Keuangan Sektor Publik: Problematika Penerimaan dan Pengeluaran Pemerintah (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah). Salemba Empat: Jakarta. 
Hendarmin. 2012. Pengaruh Belanja Modal Pemerintah Daerah dan Investasi Swasta terhadap Pertumbuhan Ekonomi, Kesempatan Kerja dan Kesejahteraan Masyarakat di Kabupaten/Kota Provinsi Kalimantan Barat. Jurnal EKSOS Vol. 8 No. 3 Hal. 144-145.
Irwan, P. I dan Karmini, L, N. 2016. Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan terhadap Pertumbuhan Ekonomi dengan Belanja Modal sebagai Variabel Intervening. E-Jurnal EP Unud, 5 [3] : 338-362.
 Mawarni, Darwanis dan Abdullah, Syukriy. 2013. Pengaruh Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum Terhadap Belanja Modal serta Dampaknya Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah (Studi Pada Kabupaten/Kota di Aceh). Jurnal Akuntansi. Pascasarjana Universitas Syah Kuala.
 Mirza, Deni Sulistio. 2012. Pengaruh kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, dan belanja modal terhadap indeks pembangunan manusia di jawa tengah tahun 2006-2009. Economics Development Analysis Journal 1, 2012.
 Paramita, Ahsani. 2012. Analisis Dampak Realisasi APBD Terhadap Indeks Pembangunan Manusia di Kota Makassar Periode 2000-2009. Makassar : Universitas Hasanuddin.

_____Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). Komite Standar Akutansi Pemerintah.

_____Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.

Setyowati, Lilis dan Yohana Kus Suparwati. 2012. Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, DAU, DAK, PAD dengan Pengalokasian Anggaran Belanja Modal sebagai Variabel Intervening (Studi Empiri pada Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Jawa Tengah). Jurnal Prestasi Vol. 9 No. 1.

Syahril. 2011. Pengaruh Pendapatan Asli Daerah dan Belanja Modal terhadap Indeks Pembangunan Manusia pada Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara.

Zebua, Willman Fogati. 2014. Pengaruh Alokasi Belanja Modal, Belanja Barang Dan Jasa, Belanja Hibah Dan Belanja Bantuan Sosial Terhadap Kualitas Pembangunan Manusia (Studi Pada Kabupaten Dan Kota Di Wilayah Provinsi Jawa Barat Tahun 2011 -2013). Fakultas Ekonomi dan Bisnis.Universitas Brawijaya.

Kamis, 16 Oktober 2014

Dampak kasus ENRON



Kasus Enron
Enron merupakan perusahaan dari penggabungan antara InterNorth (penyalur gas alam melalui pipa) dengan Houston Natural Gas. Kedua perusahaan ini bergabung pada tahun 1985. Bisnis inti Enron bergerak dalam industri energi, kemudian melakukan diversifikasi usaha yang sangat luas bahkan sampai pada bidang yang tidak ada kaitannya dengan industri energi. Diversifikasi usaha tersebut, antara lain meliputi future transaction, trading commodity non energy dan kegiatan bisnis keuangan.
 Kasus Enron mulai terungkap pada bulan Desember tahun 2001 dan terus menggelinding pada tahun 2002 berimplikasi sangat luas terhadap pasar keuangan global yang di tandai dengan menurunnya harga saham secara drastis berbagai bursa efek di belahan dunia, mulai dari Amerika, Eropa, sampai ke Asia. Enron, suatu perusahaan yang menduduki ranking tujuh dari lima ratus perusahaan terkemuka di Amerika Serikat dan merupakan perusahaan energi terbesar di AS jatuh bangkrut dengan meninggalkan hutang hampir sebesar US $ 31.2 milyar.
Dalam kasus Enron diketahui terjadinya perilaku moral hazard diantaranya manipulasi laporan keuangan dengan mencatat keuntungan 600 juta Dollar AS padahal perusahaan mengalami kerugian. Manipulasi keuntungan disebabkan keinginan perusahaan agar saham tetap diminati investor, kasus memalukan ini konon ikut melibatkan orang dalam gedung putih, termasuk wakil presiden Amerika Serikat.
Enron masih ada sekarang dan mengoperasikan segelintir aset penting dan membuat persiapan-persiapan untuk penjualan atau spin-off sisa-sisa bisnisnya. Enron muncul dari kebangkrutan pada November 2004 setelah salah satu kasus kebangkrutan terbesar dan paling rumit dalam sejarah AS. Sejak itu, Enron menjadi lambang populer dari penipuan dan korupsi korporasi yang dilakukan secara sengaja. Jeffrey Skilling menjelaskan kebangkrutan Enron disebabkan terganggunya proses bisnis akibat credit rating perusahaan menurun pada November 2001. Hal ini dikarenakan sebagai perusahaan trading, membutuhkan rating nilai investasi untuk melakukan perdagangan dengan perusahaan lain. Tidak ada nilai yang baik, maka tidak akan ada perdagangan (Eiteman, dkk, 2007).
Terjadinya penurunan nilai rating investasi perusahaan disebabkan hutangnya yang terlalu besar, yang sebelumnya tidak tercatat dalam neraca (off balance sheet) kemudian diklasifikasikan ulang sehingga tercatat dalam neraca (on balance sheet). Hutangnya tidak hanya sebesar $13 juta tetapi bertambah hingga sebesar $38 juta. Klasifikasi ulang dilakukan karena terdapat banyak special purpose entity (SPEs) dan kerjasama yang tidak tercatat dalam neraca yang memiliki banyak hutang. Sehingga terjadi ketidakcocokan saat dilakukan konsolidasi ulang yang kemudian menyebabkan nilai ekuitas perusahaan jatuh (Eiteman, dkk, 2007).
Pada kasus Enron ini, lembaga-lembaga eksternal juga ikut bertanggung jawab terjadinya kasus tersebut. Diantaranya;
1.      Auditor
Arthur Andersen (satu dari lima perusahaan akuntansi terbesar) adalah kantor akuntan Enron. Tugas dari Andersen adalah melakukan pemeriksaan dan memberikan kesaksian apakah laporan keuangan Enron memenuhi GAAP (generally accepted accounting practices). Andersen, disewa dan dibayar oleh Enron. Andersen juga menyediakan konsultasi untuk Enron, dimana hal ini melebihi wewenang dari akuntan publik umumnya. Selain itu Andersen mengalami konflik kepentingan akibat pembayaran yang begitu besar dari Enron, $5 juta untuk biaya audit dan $50 juta untuk biaya konsultasi.
2.      Konsultan hukum
Konsultan hukum Enron, khususnya Vinson & Elkins juga disewa oleh Enron. Konsultan hukum ini bertanggungjawab untuk menyediakan opini hukum atas strategi, struktur, dan legalitas umum atas semua yang dilakukan oleh Enron. Sama dengan Andersen, saat ditanyakan mengapa tidak ikut menghalangi ide dan aktivitas ilegal Enron, konsultan hukum ini menjelaskan bahwa Enron tidak memberikan informasi yang lengkap, khususnya tentang kepemilikan di SPEs.
3.      Regulator
Enron sebagai perusahaan yang melakukan perdagangan di pasar energi diawasi oleh Federal Energy Regulatory Commission (FERC), akan tetapi FERC tidak melakukan pengawasan secara mendalam. Hal ini dikarenakan Enron melakukan aktivitasnya dalam perdagangan listrik tidak di satu negara, yaitu antar negara.
4.      Pasar ekuitas
Sebagai perusahaan publik, Enron diharuskan mengikuti peraturan dari SEC. Akan tetapi dalam pengawasannya SEC, tidak melakukan investigasi secara mendalam atau melakukan konfirmasi ulang terhadap Enron. SEC hanya mengandalkan pada testimoni yang dibuat oleh lembaga lain seperti auditor perusahaan (Arthur Andersen). Sedangkan NYSE mengharuskan Enron memenuhi peraturan perdagangan di NYSE. Berbeda dengan SEC, NYSE tidak hanya melakukan verifikasi firsthand.
5.      Pasar hutang
Enron, seperti perusahaan lainnya menginginkan dan membutuhkan sebuah nilai rating. Sehingga Enron membayar Standard & Poors serta Moody’s untuk memberikan nilai rating. Rating ini dibutuhkan untuk sekuritas hutang perusahaan yang diterbitkan dan diperdagangkan di pasar. Yang menjadi masalah, perusahaan rating tersebut hanya melakukan analisis sebatas pada data yang diberikan kepada mereka oleh Enron, operasional dan aktivitas keuangan Enron. Terjadi perdebatan apakah perusahaan rating harus memeriksa total hutang perusahaan atau tidak. Khususnya yang berkaitan dengan SPEs. Meningkatnya defisit dalam arus kas perusahaan menyebabkan timbulnya masalah manajemen keuangan yang mendasar pada Enron. Pertumbuhan perusahaan membutuhkan adanya modal eksternal. Tambahan modal dapat diperoleh dari hutang baru dan ekuitas baru. Ken Lay dan Jeff Skilling, enggan untuk menerbitkan jumlah besar dari ekuitas baru. Karena akan mendilusi laba dan jumlah saham yang dipegang oleh pemegang saham. Pilihan menggunakan utang juga terbatas, dengan tingkat utang yang tinggi menyebabkan rating Enron hanya sebesar BBB, tingkat rating yang rendah oleh lembaga pemberi rating (Eiteman, dkk, 2007). Andrew Fastow bersama dengan asistennya membuat SPEs, alat yang digunakan dalam jasa keuangan. SPEs memiliki dua tujuan penting, pertama; menjual aset-aset yang bermasalah ke rekanan. Enron menghilangkan aset tersebut dari neraca, mengurangi tekanan akibat utang dan menyembunyikan kinerja buruk investasi. Hal ini dapat mendatangkan dana tambahan untuk membiayai kesempatan investasi baru. Kedua; memperoleh pendapatan untuk memenuhi laba yang disyaratkan oleh Wall Street. SPEs dibiayai dari tiga sumber; (1) ekuitas dalam bentuk saham tresuri, (2) ekuitas dalam bentuk minimum 3% dari aset yang berasal dari pihak ketiga yang tidak berhubungan, (3) jumlah yang besar dari utang bank. Modal ini berada pada sisi kanan neraca SPEs, akan tetapi pada sisi kiri modal digunakan untuk membeli aset dari Enron. Hal ini menyebabkan harga saham SPEs berkaitan dengan harga saham Enron. Saat saham SPEs naik, maka saham Enron ter-apresiasi. Sedangkan saat harga saham SPEs turun, maka harga saham Enron ter-depresiasi (Eiteman, dkk, 2007). Menurunnya harga saham Enron hingga $47 per lembar saham pada bulan Juli 2001, menyebabkan investor curiga. Hal ini menyebabkan Sherron Watkins, wakil presiden Enron mencoba memperingatkan Kenneth Lay dengan membawa 6 lembar surat yang menjelaskan proses akuntan yang tidak wajar sehubungan dengan SPEs dan memperingatkan akan kecurangan proses akuntan. Akan tetapi peringatan Sherron Watkins tidak dihiraukan oleh Ken Lay, sehingga terjadilah tsunami di Enron. Harga sahamnya jatuh hingga tersisa $1 per lembar saham yang menyebabkan Enron bangkrut (Velasquez, 2006).Pada Bulan Februari 2002, Sherron Watkins dipanggil oleh DPR untuk menjelaskan skandal Enron, tentang aktivitas akuntansi perusahaan. Kemudian Sherron Watkins menjelaskan semua permasalahan tersebut, dan menyebabkan dirinya dijuluki sebagai courageous whistleblower (Velasquez, 2006).
Runtuhnya Enron
Enron Corporation adalah “pencakar langit” dalam dunia bisnis Amerika, sama seperti Gedung World Trade Center yang menjulang tinggi di kota New York. Mirip Tragedi WTC, Enron menguap jadi debu saat perusahaan itu menyatakan diri bangkrut pada 30 November 2001 lalu, kebangkrutan terbesar dalam sejarah bisnis Amerika sepanjang masa. Enron dipandang sukses menyulap diri dari sekadar perusahaan pipanisasi gas alam di Negara Bagian Texas pada 1985 menjadi raksasa global dalam beberapa tahun terakhir. Dia membeli perusahaan air minum di Inggris dan membangun pembangkit listrik swasta di India. Konsep bisnisnya yang visioner dan futuristik membuat dia menjadi anak emas di lantai bursa Wall Street. Harga sahamnya terus meroket. Akhir 1999, Enron meluncurkan EnronOnline yang dianggap akan mengubah wajah bisnis energi masa depan. Memanfaatkan Internet, divisi e-commerce itu membeli gas, air minum dan tenaga listrik dari produsen dan menjualnya kepada pelanggan atau distributor besar. Enron bahkan memperluas wilayah, membangun jaringan telekomunikasi berkecepatan tinggi serta bertekad menjual bandwidth jaringan itu seperti dia menjual gas dan listrik. Setelah itu mungkin dia akan jual-beli online untuk kertas daur ulang pabrik miliknya. Tak lama setelah dia memasuki bisnis jasa video-on-demand dimana menjual tayangan video kepada pelanggan via sambungan internet kecepatan tinggi, harga saham Enron mencapai puncaknya, US$ 90 per lembar, pada Agustus 2000. Meski kemudian merosot bersama jatuhnya saham-saham teknologi dan internet lain, nilai pasar Enron masih berkisar US$ 60 milyar.
Pada Oktober 2001 Enron menjatuhkan bom di Wall Street dengan melaporkan kerugian ratusan juta dolar pada kwartal itu. Sangat mengejutkan karena Enron hampir selalu membawa berita gembira ke lantai bursa dengan melaporkan keuntungan selama empat tahun berturut-turut. Kabar buruk itu membanting harga saham Enron dari sekitar US$ 30 menjadi US$ 10 per lembar, hanya dalam hitungan hari. Securities Exchange Commission (SEC), badan pengawas pasar modal, membaui ada yang tidak beres dan mulai menggelar penyidikan. Dalam kondisi terdesak, Enron menjatuhkan bom lebih dahsyat lagi ke lantai bursa ketika pada 8 November 2001 mengakui bahwa keuntungannya selama ini adalah fiksi belaka. Enron merevisi laporan keuangan lima tahun terakhir dan membukukan kerugian US$ 586 juta serta tambahan catatan utang sebesar US$ 2,5 miliar. Namun, pada akhir November 2001, Enron sedikit bisa bernafas lega ketika Dynegy Inc, pesaingnya yang jauh lebih kecil, berniat membeli sahamnya dalam sebuah kesepakatan merger. Harapan itu tak berumur lama. Dynegy mundur setelah Enron makin kehilangan kepercayaan investor dan rating kreditnya jatuh ke titik terendah-berstatus “junk-bond”. Ketika tak kurang seperempat milyar lembar sahamnya dipertukarkan di lantai bursa, harga Enron meluncur ke dasar jurang. Saham Enron yang pada Agustus 2000 masih berharga US$ 90 per lembar, terjerembab jatuh hingga tidak lebih dari US$ 45 sen. Akhirnya pada tanggal 2 Desember 2001 Enron menyerah dan mengajukan petisi bangkrut.
Kejatuhan Enron ternyata mengundang tanya dan rasa curiga yang besar bagi kalangan publik. Dalam proses pengusutan sebab-sebab kebangkrutannya, belakangan Enron dicurigai telah melakukan praktek window dressing. Manajemen Enron telah menggelembungkan (mark up) pendapatannya US$ 600 juta, dan menyembunyikan utangnya sejumlah US$ 1,2 milliar. Manipulasi ini telah berlangsung bertahun-tahun, sampai Sherron Watskin, salah satu eksekutif Enron yang tak tahan lagi terlibat dalam manipulasi itu, mulai “berteriak” melaporkan praktek tidak terpuji itu. Keberanian Watskin inilah yang membuat semuanya menjadi terbuka.
Sejak akhir tahun 2000, ketika harga saham Enron di posisi puncak, para eksekutif menjual saham yang mereka miliki dengan total nilai US$ 1,1 milyar. Selama empat tahun terakhir, Kenneth L. Lay, presiden komisaris sekaligus direktur Enron diperkirakan meraup untung US$ 205 juta dari penjualan sahamnya. Dalam kurun yang sama dia membujuk karyawan dan investor untuk membeli saham Enron, antara lain dengan iming-iming laporan keuangan yang menjanjikan tapi palsu. Bahkan pada 26 September 2001, ketika harga saham jatuh menjadi US$ 25 per lembar, Ken Lay masih mencoba menghibur karyawan untuk tidak menjualnya, sebaliknya membujuk mereka membeli. Dalam e-mail yang dikirimkan kepada para karyawan yang risau, dia mengatakan perusahaan dalam kondisi sehat secara keuangan dan bahwa harga saham Enron “luar biasa murah” dalam posisi itu. Namun, hanya beberapa pekan kemudian, Enron melaporkan kerugian yang bermuara pada kebangkrutannya. Para karyawan tak bisa menjual saham mereka sampai semuanya sudah terlambat, Enron kehilangan nilai sama sekali.
Proses pengusutan juga membuahkan suatu penemuan yang menarik, yaitu kisah pemusnahan ribuan surat elektronik dan dokumen lainnya yang berhubungan dengan audit Enron oleh petinggi di firma audit Arthur Andersen. Pada tanggal 12 Oktober 2001 Arthur Andersen menerima perintah dari para pengacara Enron untuk memusnahkan seluruh materi audit, kecuali berkas-berkas yang paling dasar. Kini, Arthur Andersen menghadapi berbagai tuntutan di pengadilan. Diperkirakan tak kurang dari $ 32 miliar harus disediakan Arthur Andersen untuk dibayarkan kepada para pemegang saham Enron yang merasa dirugikan karena auditnya yang tidak becus. Ratusan mantan karyawan yang marah juga sudah melayangkan gugatan kepada Andersen. Di luar itu, otoritas pasar modal dan hukum Amerika Serikat pasti akan memberi sanksi berat jika tuduhan malapraktek itu terbukti. Belakangan, salah satu mantan petinggi Enron, Cliff Baxter tewas bunuh diri karena tak tahan menghadapi tekanan bertubi-tubi.
Selain penghancuran dokumen, terungkap pula adanya kemitraan Enron dengan perusahaan “kosong”, seperti Chewco dan JEDI. Perusahaan dengan nama yang terkesan main-main (Chewco dan JEDI adalah karakter dalam Star Wars) ini membuat para eksekutif Enron yang mengemudikannya kaya raya, dan Enron membuat pembukuan off balance sheet atas kerugian ratusan juta dolar sehingga tersembunyi dari mata investor dan pihak lain.
Komplikasi skandal ini bertambah, karena belakangan diketahui banyak sekali pejabat tinggi gedung putih dan politisi di Senat Amerika Serikat yang pernah menerima kucuran dana politik dari perusahaan ini. Tujuh puluh persen senator, baik dari Partai Republik maupun Partai Demokrat, pernah menerima dana politik. Menurut Center for Responsive Politics, Lay dan istrinya, Linda, menyumbang 86.470 dollar AS ke Partai Republik. Perusahaan Enron dan karyawannya menyumbang 3 juta dollar AS kepada Partai Republik periode 1998-2002 dan 1,1 juta dollar AS untuk Demokrat. Dalam Komite yang membidangi energi, 19 dari 23 anggotanya juga termasuk yang menerima sumbangan dari perusahaan itu. Sementara itu, tercatat 35 pejabat penting pemerintahan George W. Bush merupakan pemegang saham Enron yang telah lama merupakan perusahaan publik. Dalam daftar perusahaan penyumbang dana politik, Enron tercatat menempati peringkat ke-36, dan penyumbang peringkat ke-12 dalam penggalangan dana kampanye Bush. Lembaga bernama The Center for Public Integrity menyatakan Lay telah menyumbang 139.500 dollar AS untuk kampanye politik George W Bush selama bertahun-tahun. Sumbangan Lay itu adalah bagian dari 602.000 dollar AS sumbangan karyawan Enron atas berbagai kampanye politik Bush. Selain itu, Lay dan istrinya menyumbang 100.000 dollar AS ketika Bush dilantik sebagai Presiden AS pada tahun 2001.
Penulis dan aktivis demokrasi di AS, Greg Palast, mengungkapkan bahwa George Bush pernah menempatkan Pat Wood (orang kepercayaan Lay) sebagai pihak yang ditugasi meneliti kecurangan Enron. Hasilnya, Pat Wood tidak melakukan apa pun. Palast menambahkan, Enron pernah menggunakan sekitar 500.000 dollar AS dana pensiunan milik Negara Bagian Florida. Dana-dana itu sudah lenyap dari catatan pembukuan Enron. Semua itu bisa terjadi karena Jeb Bush (adik George Bush) adalah Gubernur Negara Bagian Florida. Akibat pertalian semacam itu, banyak orang curiga pemerintahan Bush dan para politisi telah dan akan memberikan perlakuan istimewa, baik dalam bisnis Enron selama ini maupun dalam proses penyelamatan perusahaan itu.
Dampak Keruntuhan Enron
Keruntuhan perusahaan energi Enron cukup banyak berdampak bagi dunia bisnis internasional. Akibat kebangkrutan Enron pada tahun 2001 sedikitnya 4.000 karyawan kehilangan pekerjaan. Kolapsnya Enron juga mengguncang neraca keuangan para kreditornya yang telah mengucurkan milyaran dolar (JP Morgan Chase dan Citigroup adalah dua kreditor terbesarnya). Para karyawan Enron dan investor kecil-kecilan juga dirugikan karena simpanan hari tua mereka yang musnah. Sebagian besar dana pensiun dan tabungan 20.000 karyawan Enron terikat dalam saham yang kini tanpa nilai.
Banyak lembaga keuangan internasional juga ikut menderita kerugian akibat bangkrutnya Enron, sehingga membuat mereka semakin berhati-hati dalam membidik peluang investasi. Perusahaan-perusahaan yang sahamnya diperdagangkan di pasar modal diharuskan memenuhi persyaratan pembeberan (disclosure) yang luar biasa ketat.
Kasus Enron juga melatarbelakangi munculnya Sarbanes Oxley. Sarbanes Oxley adalah nama lain dari undang-undang reformasi perlindungan investor (The Company Accounting Reform and Investor Protection Act of 2002) yang ditandatangani George Bush bulan Juli tahun 2002 lalu. Banyak yang menyebutkan bahwa undang-undang ini adalah reaksi keras regulator AS terhadap kasus Enron pada akhir tahun 2001. Inti utama dari undang-undang ini adalah upaya untuk lebih meningkatkan pertanggungjawaban keuangan perusahaan publik (good corporate governance). Undang-undang ini berpengaruh signifikan terhadap manajemen perusahaan publik, akuntan publik (auditor), dan pengacara yang berparaktek di pasar modal. Mengingat sifatnya yang sangat ketat dan berdampak luas, undang-undang ini terbilang kontroversial dan menjadi polemik hingga sekarang.
Arthur Andersen LLP (member di Amerika Serikat) yang dianggap ikut bersalah dalam kebangkrutan Enron juga terkena imbasnya. Member Arthur Andersen di beberapa negara seperti, Jepang dan Thailand, telah membuat kesepakatan merger dengan KPMG, Australia dan Selandia Baru dengan Ernst & Young, dan Spanyol dengan Deloitte Touche Tohmatsu. Di Amerika sendiri, aktivitas seluruh member Andersen dibekukan pemerintah. Akibatnya, menurut Asian Wall Street Journal klien-klien Andersen LLP beralih ke berbagai auditor. Antara lain Delotte and Touche (10 persen), KPMG (11 persen), PriceWaterhouseCooper (20 persen), dan Ernst & Young (28 persen). Dan yang berpindah ke auditor-auditor kecil lainnya atau mengaku belum tahu berpindah kemana sebanyak 40 persen. Masih banyak lagi hal-hal yang dipengaruhi oleh keruntuhan Enron, seperti munculnya trauma dalam bursa saham terhadap efek domino skandal Enron. Hal ini membuat para investor mengurangi aktivitasnya di bursa saham sehingga gairah bursa dunia menjadi lesu.
Kesimpulan
Enron dan KAP Arthur Andersen sudah melanggar kode etik yang seharusnya menjadi pedoman dalam melaksanakan tugasnya dan bukan untuk dilanggar. Yang menyebabkan kebangkrutan dan keterpurukan pada perusahaan Enron adalah Editor, Arthur Andersen (satu dari lima perusahaan akuntansi terbesar) yang merupakan kantor akuntan Enron. Keduanya telah bekerja sama dalam memanipulasi laporan keuangan sehingga merugikan berbagai pihak baik pihak eksternal seperti para pemegang saham dan pihak internal yang berasal dari dalam perusahaan enron. Enron telah melanggar etika dalam bisnis dengan tidak melakukan manipulasi-manipulasi guna menarik investor. Sedangkan Arthur Andersen yang bertindak sebagai auditor pun telah melanggar etika profesinya sebagai seorang akuntan. Arthur Andersen telah melakukan “kerjasama” dalam memanipulasi laporan keuangan enron. Hal ini jelas Arthur Andersen tidak bersikap independent sebagaimana yang seharusnya sebagai seorang akuntan.