Rabu, 15 Februari 2017

BELANJA MODAL: Untuk Kesejahteraan Masyarakat



PENDAHULUAN
Beberapa penelitian terdahulu di pemerintah daerah Indonesia  (lihat, Zebua, 2014;  Mizra, 2012; Hendarmin, 2012; Paramita, 2012; Setyowati dan Yohana, 2012; Amalia, 2013; Rachmana, 2013) telah menunjukkan bahwa belanja modal berkaitan erat dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat, dalam hal ini diukur dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Meskipun, terdapat pula penelitian menunjukkan sebaliknya bahwa belanja modal tidak memiliki hubungan dengan IPM (seperti Ingrid, 2010; Badrudin, 2011; Syahril, 2011; Mawarni dkk., 2013; Irwan dan Karmini, 2016; Dewi dan Supadmi, 2016). Selanjutnya, Bank Dunia pada akhir tahun 2011 telah mengingatkan kepada Pemerintah Indonesia bahwa belanja modal dapat berpengaruh terhadap kinerja berbagai badan pemerintah. Karena apabila Pemerintah Indonesia mampu untuk melakukan belanja modal secara bijaksana, maka diharapkan akan mampu memberikan multiplier effect dalam perekonomian nasional (Halim, 2014:225). 
Berdasarkan Permendagri Nomor 59 Tahun 2007 tentang perubahan Permendagri Nomor 13/2006 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, dijelaskan bahwa belanja modal adalah pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pengadaan aset tetap berwujud yang mempunyai nilai manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan atau satu tahun. Struktur APBD pada komponen belanja daerah, belanja modal merupakan output APBD yang paling dapat mempengaruhi pembangunan khususnya IPM. Sifat belanja modal yang berupa aset tetap dan bernilai manfaat jangka panjang menjadikan belanja modal sebagai modal/pondasi untuk meningkatkan pembangunan dalam sektor kesehatan, pendidikan dan kemampuan daya beli masyarakat karena mempercepat akses hubungan antar pelaku ekonomi sehingga biaya transaksi dapat diminimalkan (Lugastoro, 2013).
Pada teori agensi di sektor publik, kinerja pemerintah dinilai melalui anggaran yang dibuatnya, sehingga diharapkan pengeluaran pemerintah yang menyentuh pada fungsi pelayanan kepada masyarakat, yang berwujud dalam belanja modal, harus mendapatkan porsi yang relatif besar (Halim, 2014:226). Lalu, pengelolaan belanja modal bukan merupakan pekerjaan yang mudah bagi seorang manajer di suatu entitas pemerintah di daerah, contohnya seorang kepala daerah. Seorang manajer harus paham betul asas yang berlaku serta ukuran kinerja untuk menilai keberhasilan setiap kegiatan dari belanja modal. Kegiatan belanja modal merupakan bagian dari suatu bentuk pengelolaan keuangan daerah yang harus dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efektif, efisien, ekonomis, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan, kepatuhan, dan memberikan manfaat untuk masyarakat (Halim, 2014:229). Lebih lanjut Halim (2014:229) mengemukakan bahwa terdapat beberapa ukuran keberhasilan dari kegiatan belanja modal adalah lima tepat, tepat mutu, tepat jumlah, tepat waktu, tepat sasaran, dan tepat harga. Artikel ini mencoba mengeksplorasi hasil-hasil penelitian terdahulu, berkenaan dengan peran pemerintah daerah dalam mengelola  belanja modal dan hubungannya dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat, yang dalam konteks artikel ini di lihat dari IPM.

BELANJA MODAL
Belanja modal menurut Halim (2008:4) adalah investasi baik berupa pengadaan atau pembelian aset yang memiliki masa manfaat dua belas bulan dan aset ini digunakan dalam kegiatan pemerintahan yang bermanfaat secara ekonomis, sosial, dan manfaat lain, sehingga meningkatkan kemampuan pemerintah dalam melayani masyarakat. Investasi untuk memenuhi kepentingan layanan publik memiliki jenis yang berbeda. Subiyanto dalam Halim (2008) membagi investasi tersebut menjadi dua kelompok, yaitu sarana prasarana dan fasilitas umum lainnya, sehingga investasi ini tidak memeroleh aliran kas masuk untuk menutup biaya, namun justru melayani akitivitas sektor ekonomi lainnya dan terkadang berubah menjadi pusat biaya (Badrudin, 2012:69).
Belanja modal berdasarkan Permendagri No.13 Tahun 2006 pada awalnya diartikan sebagai pengeluaran APBD yang digunakan untuk pembelian/pengadaan atau pembagunan aset tetap berwujud yang memiliki nilai manfaat lebih dari dua belas bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan, seperti dalam bentuk tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan jaringan, dan aset tetap lainnya. Kemudian ketentuan mengenai definisi belanja modal direvisi melalui Permendagri No. 59 Tahun 2007, sehingga belanja modal adalah pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pengadaan aset tetap berwujud yang memiliki nilai manfaat lebih dari dua belas bulan untuk digunakan dalam melaksanakan program dan kegiatan pemerintahan daerah. Berdasarkan Permendagri No.59 Tahun 2007, nilai aset tetap yang dianggarkan dalam belanja modal sebesar harga beli/bangun aset ditambah seluruh belanja yang terkait dengan pengadaan/pembangunan aset sampai aset tersebut siap digunakan. Kepala daerah menetapkan batas minimal kapitalisasi sebagai dasar pembebanan belanja modal dan dianggarkan dalam RKA-SKPD pada masing-masing SKPD. Namun, belanja modal menurut Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap dan aset lainnya yang dapat memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Belanja modal secara spesifik dapat berupa tanah, peralatan atau mesin, gedung dan bangunan, jalan irigasi, jaringan atau modal lainnya (Halim 2008:113), sedangkan menurut Peraturan Pemerintah N0 71 Tahun 2010, belanja modal adalah seperti untuk perolehan tanah, gedung dan bangunan, peralatan, dan aset tak berwujud.
Pengalokasian belanja modal harus melalui pertimbangan, perkiraan, dan perhitungan yang panjang. Hal tersebut dikarenakan belanja modal membutuhkan biaya yang cukup besar dan pengembalian dalam jangka waktu yang tidak sebentar (Badrudin, 2012:65). Selain itu, belanja modal tersebut diyakini dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Halim (2014:225) menyatakan apabila pemerintah Indonesia mampu menggunakan belanja modal secara bijaksana, maka diharapkan akan memberikan efek multifier dalam perekonomian nasional. Hal serupa yang disampaikan oleh Soepangat (1991:52) bahwa peningkatan belanja modal yang menyebabkan peningkatan penyediaan layanan barang dan jasa publik kepada masyarakat akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, belanja modal dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat karena dengan adanya sarana prasarana dan fasilitas umum yang memadai, maka perpindahan barang atau pergerakan orang tidak akan terganggu, mengingat perekonomian akan tumbuh karena aspek mobilitas perpindahan barang dan pergerakan orang (Badrudin, 2012:69).

KESEJAHTERAAN MASYARAKAT
Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
Tahun 1990 United Nations Development Programme (UNDP) memperkenalkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang didefinisikan sebagai suatu indeks komposit yang mencakup tiga kebutuhan dasar dalam peningkatan kualitas pembangunan manusia antara lain indikator kesehatan, tingkat pendidikan, dan indikator ekonomi. Konsep IPM menurut UNDP dan Badan Pusat Statistik (BPS) mengacu pada pengukuran capaian pembangunan manusia didasari oleh komponen dasar kualitas hidup, yaitu capaian di bidang kesehatan yang diukur dalam indeks harapan hidup, capaian di bidang pendidikan dengan mengukur angka melek huruf pada penduduk usia 15 tahun ke atas dan mengukur rata-rata lama sekolah (rata-rata jumlah tahun yang telah dihabiskan oleh penduduk usia 15 tahun ke atas di seluruh tingkat pendidikan formal yang dijalani), dan indeks standar kehidupan yang layak, yang diindikasikan dengan daya beli/konsumsi riil perkapita (Dewi dan Supadmi, 2014).
IPM dapat mengetahui kondisi pembangunan di daerah dengan alasan IPM merupakan indikator penting dalam mengukur keberhasilan dalam pembangunan kualitas manusia. IPM menjelaskan tentang bagaimana manusia mempunyai kesempatan untuk mengakses hasil dari proses pembangunan, sebagai bagian dari haknya seperti dalam memperoleh pendapatan, kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan. IPM juga dapat digunakan sebagai pengukuran kinerja daerah dalam hal evaluasi terhadap pembangunan kualitas hidup masyarakat/penduduk. Meskipun menjadi indikator penting dalam mengukur keberhasilan dalam pembangunan kualitas hidup manusia, IPM belum tentu mencerminkan kondisi sesungguhnya namun untuk saat ini IPM merupakan satu-satunya indikator yang dapat digunakan untuk mengukur pembangunan kualitas hidup manusia (Dewi dan Supadmi, 2014). Perhitungan IPM disajikan dalam rumus berikut ini.
IPM = 1/3 (X1 + X2 + X3) ..……….………….…………………….(1)
Keterangan :
X1 = indeks konsumsi perkapita yang disesuaikan
X2 = indeks angka harapan hidup
X3 = indeks pendidikan = 2/3 (indeks melek huruf) + 1/3 (indeks rata- rata lama bersekolah)
Penetapan kategori IPM didasarkan pada skala 0,0-1,0 (Mudrajad, 2003 dalam Artaningtyas, 2011) terdiri dari : Kategori Rendah (nilai IPM 0-0,5), Kategori Menengah (nilai IPM antara 0,51 -0,79), dan Kategori Tinggi (nilai IPM 0,8-1) (Dewi dan Supadmi, 2014).

HUBUNGAN BELANJA MODAL DAERAH TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT
Belanja modal merupakan pengeluaran pemerintah yang digunakan untuk membangun infrastruktur yang menunjang program-program pemerintah untuk mensejahterakan rakyat (Zebua, 2014). Penelitian terdahulu (lihat (lihat  Zebua, 2014;  Mizra, 2012; Hendarmin, 2012; Paramita, 2012; Setyowati dan Yohana, 2012; Amalia, 2013; Rachmana, 2013) telah menemukan pengaruh positif dan signifikan belanja modal terhadap peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Seperti, penelitian yang dilakukan oleh Zebua (2014) dengan mengambil kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat, menunjukkan bahwa belanja modal berhubungan positif dengan IPM.
Hasil penelitian tersebut diatas, mengindikasikan bahwa pengelolaan belanja modal benar-benar memberikan manfaat bagi masyarakat. Selain itu, dari penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa pemerintah daerah dimana yang menjadi sampel penelitian tersebut, telah melaksanakan amanat sesuai dengan yang diamanatkan kepadanya. Yaitu, untuk melayani masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan mereka. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengelola belanja daerah khususnya belanja modal, mengingat belanja ini berkaitan erat dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Maka, pemerintah daerah benar-benar harus mempertimbangkan secara matang dan dengan penuh perhitungan agar alokasi belanja yang dicanangkan berdampak pada masyarakat. Salah satunya, dengan terus meningkatkan proporsi alokasi belanja modal lebih tinggi dari belanja-belanja lainya yang ada struktur APBD. Dengan kata lain, pemerintah daerah harus menjadikan belanja modal sebagai belanja prioritas dari belanja-belanja lainnya. Harapanya, dengan penambahan proporsi belanja modal akan memberikan kesempatan yang lebih banyak untuk melaksanakan program-program kegiatan yang sifatnya jangka panjang. Karena hal tersebut memberikan dampak secara langsung maupun tidak langsung pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Lain halnya, dengan hasil penelitian (lihat, Ingrid, 2010; Badrudin, 2011; Syahril, 2011; Mawarni dkk., 2013; Irwan dan Karmini, 2016; Dewi dan Supadmi, 2016) menunjukkan hasil yang bertolak belakang dengan penelitian diatas, yakni menemukan bahwa belanja modal tidak memiliki hubungan atau tidak berkorelasi dengan kesejahteraan masyarakat yang diukur dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Misalnya, penelitian Dewi dan Supadmi (2016) melakukan pengujian terhadap pengaruh alokasi belanja modal terhadap IPM di Kabupaten dan Kota Provinsi Bali. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa belanja modal tidak memiliki hubungan dengan IPM. Kegagalan belanja modal dalam memengaruhi IPM ini terjadi karena masih rendahnya alokasi belanja modal dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat serta alokasi belanja modal belum dilaksanakan dengan tepat sasaran (Dewi dan Supadmi, 2016).
Hasil penelitian-penelitian tersebut, memberikan arti bahwa pengelolaan belanja modal belum secara maksimal dikelola dengan baik oleh pemerintah daerah yang menjadi objek penelitan tersebut. Sehingga, perlu ada perbaikan pengelolaan belanja. Dalam hal ini, ketika dulunya pemerintah daerah lebih memperioritaskan belanja-belanja operasional, maka sekarang harus mengubah alokasi tersebut menjadi alokasi belanja produktif. Penekanan yang harus dilakukan pemerintah daerah tersebut, adalah dengan menjadikan belanja produktif atau belanja modal mereka sebagai prioritas belanja. Maksudnya, belanja modal dijadikan sebagai belanja yang harus dialokasikan terlebih dahulu daripada belanja-belanja operasional dan belanja lainnya. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah daerah untuk tetap menjadikan aturan-aturan daerah sebagai acuan pengalokasian belanja. Karena, dalam Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 telah diklasifikasikan belanja daerah menurut urusan pemerintahan. Menurut urusan, belanja dibedakan menjadi dua urusan yaitu urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib tersebut didalamnya dicanangkan belanja modal yang harus dijadikan sebagai kebijakan dalam penetapan mata anggaran daerah. Karena itu, pemerintah daerah harus menjadikan urusan wajib tersebut sebagai prioritas daerah dalam menetapkan kebijakan APBD.
Berdasarkan pada konsep IPM yang dibentuk dari tiga bidang yaitu kesehatan, pendidikan dan pendapatan. Maka, pembangunan melalui belanja modal pemerintah, memang sangat diperlukan sebagai pendorong peningkatan IPM. Misalnya dibidang kesehatan, yakni ketika pemerintah membangun infrastruktur kesehatan di daerah. Hal ini, akan memberikan peluang peningkatan kesehatan masyarakat. Karena, masyarakat mempunyai tempat untuk melakukan pemeriksaan kesehatan ataupun tempat untuk berobat ketika sakit, sehingga hal tersebut menyebabkan indeks lama hidup masyarakat akan meningkat. Hal serupa ketika pembangunan infrastruktur di bidang pendidikan diintesifkan pembangunannya di daerah-daerah. Hasil dari pembangunan infrastruktur pendidikan memberikan peluang bagi daerah terpencil dan daerah terbelakang dibidang pendidikan untuk meningkatkan taraf pengetahuan mereka. Begitupula, pembangunan infrastruktur berupa jalan, jembatan, irigasi, pelabuhan laut dan udara, dan pabrik. Pembagunan infrastruktur tersebut berdampak pada peningkatan pendapatan masyarakat. Misalnya, bagi pelaku ekonomi dengan dibangunnya infrastruktur tersebut, maka jumlah barang maupun jasa yang ditawarkan bertambah, kemudian lintas wilayah lebih luas, dan waktu tempu yang singkat. Sehingga hal tersebut meminimalisir biaya-biaya yang dikeluarkan pelaku ekonomi dalam memasarkan produk mereka.

PENUTUP
Belanja modal daerah merupakan salah satu kelompok belanja daerah berdasarkan jenisnya, memegang peranan yang sangat penting terhadap pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Karena dengan melakukan kegiatan belanja modal diasumsikan akan membawa multiplier effect bagi perekonomian suatu masyarakat dengan cara membangun jalan, jembatan, pabrik, dan sebagainya (Halim, 2014:235) yang berdampak pula pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu, seharusnya pemerintah daerah menjadikan alokasi belanja modal daerah menjadi sebagai prioritas dalam menyusun kebijakan anggaran.
Hasil penelitian (lihat, Zebua, 2014;  Mizra, 2012; Hendarmin, 2012; Paramita, 2012; Setyowati dan Yohana, 2012; Amalia, 2013; Rachmana, 2013) telah menunjukkan bahwa belanja modal berkaitan erat dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat, dalam hal ini diukur dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Walaupun hasil-hasil penelitian tersebut, masih menemukan tingkat hubungan yang masih sangat kecil dibawah 25% hubungan terhadap IPM. Namun, hasil tersebut cukup menjelaskan bahwa, memang ada hubungan antara belanja modal dengan peningkatan IPM. Sehingga, hal tersebut memberikan informasi kepada pemerintah daerah untuk lebih menekankan pengalokasian belanja modal lebih utama dibandingkan belanja lainnya. Karena, semakin besar proporsi belanja modal yang ditetapkan, maka diasumsikan akan memiliki hubungan semakin kuat pula terhadap peningkatan IPM. Meskipun, terdapat pula penelitian yang menunjukkan sebaliknya bahwa belanja modal tidak memiliki hubungan dengan IPM (seperti Ingrid, 2010; Badrudin, 2011; Syahril, 2011; Mawarni dkk., 2013; Irwan dan Karmini, 2016; Dewi dan Supadmi, 2016). Hasil penelitian tersebut memberikan informasi bahwa pengelolaan belanja modal daerah, belum menjadi prioritas pemerintah daerah bersangkutan. Selain itu, dapat pula disebabkan belanja modal yang dialokasikan tidak tepat sasaran. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah daerah untuk menjadikan belanja modal sebagai prioritas belanja dan mendapatkan porsi yang terbesar dari struktur belanja lainnya di APBD. Mengingat, belanja modal erat kaitannya dengan kesejahteraan masyarakat, yang dalam artikel ini dilihat dari peningkatan IPM.

DAFTAR PUSTAKA
Amalia. 2013. Analisis Pengaruh Belanja Modal terhadap PDRB Per Kpaita dan Implikasinya pada Kualitas Pembangunan Manusia. Tesis. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Tidak Dipublikasikan.
 Badrudin, Rudy. 2011. Pengaruh Pendapatan dan Belanja Daerah Terhadap Pembangunan Manusia Di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Buletin Ekonomi, Jurnal Manajemen, Akuntansi, Dan Ekonomi Pembangunan, 9(1), h: 23-30.
 Badrudin, Rudy. 2012. Ekonomika Otonomi Daerah. Yogyakarta: UPP YKPN
 Dewi, A. Agung I G dan Supadmi, l. Niluh. 2016. Pengaruh Alokasi Belanja Rutin dan Belanja Modal pada Indeks Pembangunan Manusia. E-Jurnal Akuntansi Universitas Udayana. Vol.14.1. Januari (2016). Hal: 695-722.
 Lugastoro, Dectra Pitron. 2013. Analisis Pengaruh PAD dan Dana Perimbangan terhadap Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten/Kota di Jawa Timur.
 Halim, Abdul. 2008. Analisis Investasi (Belanja Modal) Sektor Publik-Pemerintahan Daerah. Penerbit UP AMP YKPN: Yogyakarta.
 Halim, Abdul. 2014. Manajemen Keuangan Sektor Publik: Problematika Penerimaan dan Pengeluaran Pemerintah (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah). Salemba Empat: Jakarta. 
Hendarmin. 2012. Pengaruh Belanja Modal Pemerintah Daerah dan Investasi Swasta terhadap Pertumbuhan Ekonomi, Kesempatan Kerja dan Kesejahteraan Masyarakat di Kabupaten/Kota Provinsi Kalimantan Barat. Jurnal EKSOS Vol. 8 No. 3 Hal. 144-145.
Irwan, P. I dan Karmini, L, N. 2016. Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan terhadap Pertumbuhan Ekonomi dengan Belanja Modal sebagai Variabel Intervening. E-Jurnal EP Unud, 5 [3] : 338-362.
 Mawarni, Darwanis dan Abdullah, Syukriy. 2013. Pengaruh Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum Terhadap Belanja Modal serta Dampaknya Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah (Studi Pada Kabupaten/Kota di Aceh). Jurnal Akuntansi. Pascasarjana Universitas Syah Kuala.
 Mirza, Deni Sulistio. 2012. Pengaruh kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, dan belanja modal terhadap indeks pembangunan manusia di jawa tengah tahun 2006-2009. Economics Development Analysis Journal 1, 2012.
 Paramita, Ahsani. 2012. Analisis Dampak Realisasi APBD Terhadap Indeks Pembangunan Manusia di Kota Makassar Periode 2000-2009. Makassar : Universitas Hasanuddin.

_____Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). Komite Standar Akutansi Pemerintah.

_____Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.

Setyowati, Lilis dan Yohana Kus Suparwati. 2012. Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, DAU, DAK, PAD dengan Pengalokasian Anggaran Belanja Modal sebagai Variabel Intervening (Studi Empiri pada Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Jawa Tengah). Jurnal Prestasi Vol. 9 No. 1.

Syahril. 2011. Pengaruh Pendapatan Asli Daerah dan Belanja Modal terhadap Indeks Pembangunan Manusia pada Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara.

Zebua, Willman Fogati. 2014. Pengaruh Alokasi Belanja Modal, Belanja Barang Dan Jasa, Belanja Hibah Dan Belanja Bantuan Sosial Terhadap Kualitas Pembangunan Manusia (Studi Pada Kabupaten Dan Kota Di Wilayah Provinsi Jawa Barat Tahun 2011 -2013). Fakultas Ekonomi dan Bisnis.Universitas Brawijaya.

2 komentar:

  1. Thanks, saya tertarik dgn artikel, it;s verygood

    BalasHapus
  2. Casino Nights Tickets & Promo Code - JTAHub
    Play Casino Nights for free at JTMH 광양 출장안마 for all your favorite slots, table 안동 출장마사지 games, video poker, blackjack, 평택 출장마사지 roulette and more. Don't miss out! 목포 출장안마 Click to enjoy the 구리 출장샵 VIP program!

    BalasHapus