PENDAHULUAN
Beberapa penelitian
terdahulu di pemerintah daerah Indonesia (lihat, Zebua, 2014; Mizra, 2012;
Hendarmin, 2012; Paramita, 2012; Setyowati dan Yohana, 2012; Amalia, 2013; Rachmana,
2013) telah menunjukkan bahwa belanja
modal berkaitan erat dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat, dalam hal ini
diukur dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Meskipun,
terdapat pula penelitian menunjukkan sebaliknya bahwa belanja modal tidak
memiliki hubungan dengan IPM (seperti Ingrid, 2010; Badrudin, 2011; Syahril,
2011; Mawarni dkk., 2013; Irwan dan
Karmini, 2016; Dewi dan Supadmi, 2016). Selanjutnya, Bank Dunia
pada akhir tahun 2011 telah mengingatkan kepada Pemerintah Indonesia bahwa belanja
modal dapat berpengaruh terhadap kinerja berbagai badan pemerintah. Karena
apabila Pemerintah Indonesia mampu untuk melakukan belanja modal secara
bijaksana, maka diharapkan akan mampu memberikan multiplier effect dalam perekonomian nasional (Halim,
2014:225).
Berdasarkan
Permendagri Nomor 59 Tahun 2007 tentang perubahan Permendagri Nomor 13/2006
tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, dijelaskan bahwa belanja modal adalah pengeluaran
yang dilakukan dalam rangka pengadaan aset tetap berwujud yang mempunyai nilai manfaat
lebih dari 12 (dua belas) bulan atau satu tahun. Struktur APBD pada komponen
belanja daerah, belanja modal merupakan output APBD yang paling dapat
mempengaruhi pembangunan khususnya IPM. Sifat belanja modal yang berupa aset
tetap dan bernilai manfaat jangka panjang menjadikan belanja modal sebagai
modal/pondasi untuk meningkatkan pembangunan dalam sektor kesehatan, pendidikan
dan kemampuan daya beli masyarakat karena mempercepat akses hubungan antar
pelaku ekonomi sehingga biaya transaksi dapat diminimalkan (Lugastoro, 2013).
Pada teori
agensi di sektor publik, kinerja pemerintah dinilai melalui anggaran yang
dibuatnya, sehingga diharapkan pengeluaran pemerintah yang menyentuh pada
fungsi pelayanan kepada masyarakat, yang berwujud dalam belanja modal, harus
mendapatkan porsi yang relatif besar (Halim, 2014:226). Lalu, pengelolaan belanja
modal bukan merupakan pekerjaan yang mudah bagi seorang manajer di suatu
entitas pemerintah di daerah, contohnya seorang kepala daerah. Seorang manajer
harus paham betul asas yang berlaku serta ukuran kinerja untuk menilai
keberhasilan setiap kegiatan dari belanja modal. Kegiatan belanja modal
merupakan bagian dari suatu bentuk pengelolaan keuangan daerah yang harus
dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efektif,
efisien, ekonomis, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan asas
keadilan, kepatuhan, dan memberikan manfaat untuk masyarakat (Halim, 2014:229).
Lebih lanjut Halim (2014:229) mengemukakan bahwa terdapat beberapa ukuran
keberhasilan dari kegiatan belanja modal adalah lima tepat, tepat mutu, tepat
jumlah, tepat waktu, tepat sasaran, dan tepat harga. Artikel ini mencoba
mengeksplorasi hasil-hasil penelitian terdahulu, berkenaan dengan peran
pemerintah daerah dalam mengelola belanja
modal dan hubungannya dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat, yang dalam
konteks artikel ini di lihat dari IPM.
BELANJA MODAL
Belanja modal menurut
Halim (2008:4) adalah investasi baik berupa pengadaan atau pembelian aset yang
memiliki masa manfaat dua belas bulan dan aset ini digunakan dalam kegiatan
pemerintahan yang bermanfaat secara ekonomis, sosial, dan manfaat lain, sehingga
meningkatkan kemampuan pemerintah dalam melayani masyarakat. Investasi untuk
memenuhi kepentingan layanan publik memiliki jenis yang berbeda. Subiyanto
dalam Halim (2008) membagi investasi tersebut menjadi dua kelompok, yaitu
sarana prasarana dan fasilitas umum lainnya, sehingga investasi ini tidak
memeroleh aliran kas masuk untuk menutup biaya, namun justru melayani
akitivitas sektor ekonomi lainnya dan terkadang berubah menjadi pusat biaya
(Badrudin, 2012:69).
Belanja modal berdasarkan
Permendagri No.13 Tahun 2006 pada awalnya diartikan sebagai pengeluaran APBD
yang digunakan untuk pembelian/pengadaan atau pembagunan aset tetap berwujud
yang memiliki nilai manfaat lebih dari dua belas bulan untuk digunakan dalam
kegiatan pemerintahan, seperti dalam bentuk tanah, peralatan dan mesin, gedung
dan bangunan, jalan, irigasi dan jaringan, dan aset tetap lainnya. Kemudian
ketentuan mengenai definisi belanja modal direvisi melalui Permendagri No. 59
Tahun 2007, sehingga belanja modal adalah pengeluaran yang dilakukan dalam
rangka pengadaan aset tetap berwujud yang memiliki nilai manfaat lebih dari dua
belas bulan untuk digunakan dalam melaksanakan program dan kegiatan pemerintahan
daerah. Berdasarkan Permendagri No.59 Tahun 2007, nilai aset tetap yang
dianggarkan dalam belanja modal sebesar harga beli/bangun aset ditambah seluruh
belanja yang terkait dengan pengadaan/pembangunan aset sampai aset tersebut
siap digunakan. Kepala daerah menetapkan batas minimal kapitalisasi sebagai
dasar pembebanan belanja modal dan dianggarkan dalam RKA-SKPD pada
masing-masing SKPD. Namun, belanja modal menurut Peraturan Pemerintah No. 71
Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) adalah pengeluaran
anggaran untuk perolehan aset tetap dan aset lainnya yang dapat memberi manfaat
lebih dari satu periode akuntansi. Belanja modal secara spesifik dapat berupa
tanah, peralatan atau mesin, gedung dan bangunan, jalan irigasi, jaringan atau
modal lainnya (Halim 2008:113), sedangkan menurut Peraturan Pemerintah N0 71
Tahun 2010, belanja modal adalah seperti untuk perolehan tanah, gedung dan
bangunan, peralatan, dan aset tak berwujud.
Pengalokasian
belanja modal harus melalui pertimbangan, perkiraan, dan perhitungan yang
panjang. Hal tersebut dikarenakan belanja modal membutuhkan biaya yang cukup
besar dan pengembalian dalam jangka waktu yang tidak sebentar (Badrudin,
2012:65). Selain itu, belanja modal tersebut diyakini dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Halim (2014:225) menyatakan apabila pemerintah
Indonesia mampu menggunakan belanja modal secara bijaksana, maka diharapkan
akan memberikan efek multifier dalam perekonomian nasional. Hal serupa yang disampaikan
oleh Soepangat (1991:52) bahwa peningkatan belanja modal yang menyebabkan
peningkatan penyediaan layanan barang dan jasa publik kepada masyarakat akan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, belanja modal dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat karena dengan adanya sarana prasarana dan
fasilitas umum yang memadai, maka perpindahan barang atau pergerakan orang
tidak akan terganggu, mengingat perekonomian akan tumbuh karena aspek mobilitas
perpindahan barang dan pergerakan orang (Badrudin, 2012:69).
KESEJAHTERAAN
MASYARAKAT
Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
Tahun 1990 United
Nations Development Programme (UNDP) memperkenalkan Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) yang didefinisikan sebagai suatu indeks komposit yang mencakup
tiga kebutuhan dasar dalam peningkatan kualitas pembangunan manusia antara lain
indikator kesehatan, tingkat pendidikan, dan indikator ekonomi. Konsep IPM
menurut UNDP dan Badan Pusat Statistik (BPS) mengacu pada pengukuran capaian
pembangunan manusia didasari oleh komponen dasar kualitas hidup, yaitu capaian
di bidang kesehatan yang diukur dalam indeks harapan hidup, capaian di bidang
pendidikan dengan mengukur angka melek huruf pada penduduk usia 15 tahun ke
atas dan mengukur rata-rata lama sekolah (rata-rata jumlah tahun yang telah
dihabiskan oleh penduduk usia 15 tahun ke atas di seluruh tingkat pendidikan
formal yang dijalani), dan indeks standar kehidupan yang layak, yang
diindikasikan dengan daya beli/konsumsi riil perkapita (Dewi dan Supadmi, 2014).
IPM dapat
mengetahui kondisi pembangunan di daerah dengan alasan IPM merupakan indikator
penting dalam mengukur keberhasilan dalam pembangunan kualitas manusia. IPM
menjelaskan tentang bagaimana manusia mempunyai kesempatan untuk mengakses
hasil dari proses pembangunan, sebagai bagian dari haknya seperti dalam
memperoleh pendapatan, kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan. IPM juga dapat
digunakan sebagai pengukuran kinerja daerah dalam hal evaluasi terhadap
pembangunan kualitas hidup masyarakat/penduduk. Meskipun menjadi indikator
penting dalam mengukur keberhasilan dalam pembangunan kualitas hidup manusia,
IPM belum tentu mencerminkan kondisi sesungguhnya namun untuk saat ini IPM
merupakan satu-satunya indikator yang dapat digunakan untuk mengukur
pembangunan kualitas hidup manusia (Dewi dan Supadmi, 2014). Perhitungan IPM
disajikan dalam rumus berikut ini.
IPM = 1/3
(X1 + X2 + X3) ..……….………….…………………….(1)
Keterangan
:
X1 = indeks
konsumsi perkapita yang disesuaikan
X2 = indeks
angka harapan hidup
X3 = indeks
pendidikan = 2/3 (indeks melek huruf) + 1/3 (indeks rata- rata lama bersekolah)
Penetapan
kategori IPM didasarkan pada skala 0,0-1,0 (Mudrajad, 2003 dalam Artaningtyas,
2011) terdiri dari : Kategori Rendah (nilai IPM 0-0,5), Kategori Menengah
(nilai IPM antara 0,51 -0,79), dan Kategori Tinggi (nilai IPM 0,8-1) (Dewi dan
Supadmi, 2014).
HUBUNGAN BELANJA MODAL DAERAH
TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT
Belanja modal merupakan pengeluaran pemerintah yang digunakan untuk
membangun infrastruktur yang menunjang program-program pemerintah untuk mensejahterakan
rakyat (Zebua, 2014). Penelitian terdahulu (lihat (lihat Zebua, 2014; Mizra, 2012;
Hendarmin, 2012; Paramita, 2012; Setyowati dan Yohana, 2012; Amalia, 2013; Rachmana,
2013) telah menemukan pengaruh positif dan signifikan
belanja modal terhadap peningkatan Indeks
Pembangunan Manusia (IPM). Seperti, penelitian yang dilakukan oleh Zebua (2014)
dengan mengambil kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat, menunjukkan bahwa
belanja modal berhubungan positif dengan IPM.
Hasil penelitian tersebut diatas, mengindikasikan bahwa
pengelolaan belanja modal benar-benar memberikan manfaat bagi masyarakat.
Selain itu, dari penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa pemerintah daerah
dimana yang menjadi sampel penelitian tersebut, telah melaksanakan amanat
sesuai dengan yang diamanatkan kepadanya. Yaitu, untuk melayani masyarakat dan
meningkatkan kesejahteraan mereka. Oleh karena itu, sangat penting untuk
mengelola belanja daerah khususnya belanja modal, mengingat belanja ini
berkaitan erat dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Maka, pemerintah
daerah benar-benar harus mempertimbangkan secara matang dan dengan penuh
perhitungan agar alokasi belanja yang dicanangkan berdampak pada masyarakat.
Salah satunya, dengan terus meningkatkan proporsi alokasi belanja modal lebih
tinggi dari belanja-belanja lainya yang ada struktur APBD. Dengan kata lain,
pemerintah daerah harus menjadikan belanja modal sebagai belanja prioritas dari
belanja-belanja lainnya. Harapanya, dengan penambahan proporsi belanja modal
akan memberikan kesempatan yang lebih banyak untuk melaksanakan program-program
kegiatan yang sifatnya jangka panjang. Karena hal tersebut memberikan dampak
secara langsung maupun tidak langsung pada peningkatan kesejahteraan
masyarakat.
Lain halnya, dengan hasil penelitian (lihat,
Ingrid, 2010; Badrudin, 2011; Syahril, 2011; Mawarni dkk., 2013; Irwan dan Karmini, 2016; Dewi dan Supadmi,
2016) menunjukkan hasil yang bertolak belakang dengan penelitian diatas, yakni
menemukan bahwa belanja modal tidak memiliki hubungan atau tidak berkorelasi
dengan kesejahteraan masyarakat yang diukur dengan Indeks Pembangunan Manusia
(IPM). Misalnya, penelitian Dewi dan Supadmi (2016) melakukan pengujian
terhadap pengaruh alokasi belanja modal terhadap IPM di Kabupaten dan Kota
Provinsi Bali. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa belanja modal tidak
memiliki hubungan dengan IPM. Kegagalan belanja modal dalam memengaruhi IPM ini
terjadi karena masih rendahnya alokasi belanja modal dalam upaya peningkatan
kesejahteraan masyarakat serta alokasi belanja modal belum dilaksanakan dengan
tepat sasaran (Dewi dan Supadmi,
2016).
Hasil penelitian-penelitian tersebut, memberikan
arti bahwa pengelolaan belanja modal belum secara maksimal dikelola dengan baik
oleh pemerintah daerah yang menjadi objek penelitan tersebut. Sehingga, perlu
ada perbaikan pengelolaan belanja. Dalam hal ini, ketika dulunya pemerintah
daerah lebih memperioritaskan belanja-belanja operasional, maka sekarang harus
mengubah alokasi tersebut menjadi alokasi belanja produktif. Penekanan yang
harus dilakukan pemerintah daerah tersebut, adalah dengan menjadikan belanja
produktif atau belanja modal mereka sebagai prioritas belanja. Maksudnya,
belanja modal dijadikan sebagai belanja yang harus dialokasikan terlebih dahulu
daripada belanja-belanja operasional dan belanja lainnya. Oleh karena itu,
penting bagi pemerintah daerah untuk tetap menjadikan aturan-aturan daerah
sebagai acuan pengalokasian belanja. Karena, dalam Permendagri Nomor 13 Tahun
2006 telah diklasifikasikan belanja daerah menurut urusan pemerintahan. Menurut
urusan, belanja dibedakan menjadi dua urusan yaitu urusan wajib dan urusan
pilihan. Urusan wajib tersebut didalamnya dicanangkan belanja modal yang harus
dijadikan sebagai kebijakan dalam penetapan mata anggaran daerah. Karena itu,
pemerintah daerah harus menjadikan urusan wajib tersebut sebagai prioritas
daerah dalam menetapkan kebijakan APBD.
Berdasarkan pada konsep IPM yang dibentuk dari tiga
bidang yaitu kesehatan, pendidikan dan pendapatan. Maka, pembangunan melalui
belanja modal pemerintah, memang sangat diperlukan sebagai pendorong
peningkatan IPM. Misalnya dibidang kesehatan, yakni ketika pemerintah membangun
infrastruktur kesehatan di daerah. Hal ini, akan memberikan peluang peningkatan
kesehatan masyarakat. Karena, masyarakat mempunyai tempat untuk melakukan
pemeriksaan kesehatan ataupun tempat untuk berobat ketika sakit, sehingga hal
tersebut menyebabkan indeks lama hidup masyarakat akan meningkat. Hal serupa
ketika pembangunan infrastruktur di bidang pendidikan diintesifkan pembangunannya
di daerah-daerah. Hasil dari pembangunan infrastruktur pendidikan memberikan
peluang bagi daerah terpencil dan daerah terbelakang dibidang pendidikan untuk
meningkatkan taraf pengetahuan mereka. Begitupula, pembangunan infrastruktur
berupa jalan, jembatan, irigasi, pelabuhan laut dan udara, dan pabrik.
Pembagunan infrastruktur tersebut berdampak pada peningkatan pendapatan
masyarakat. Misalnya, bagi pelaku ekonomi dengan dibangunnya infrastruktur
tersebut, maka jumlah barang maupun jasa yang ditawarkan bertambah, kemudian
lintas wilayah lebih luas, dan waktu tempu yang singkat. Sehingga hal tersebut
meminimalisir biaya-biaya yang dikeluarkan pelaku ekonomi dalam memasarkan
produk mereka.
PENUTUP
Belanja modal daerah
merupakan salah satu kelompok belanja daerah berdasarkan jenisnya, memegang
peranan yang sangat penting terhadap pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Karena
dengan melakukan kegiatan belanja modal diasumsikan akan membawa multiplier effect bagi perekonomian
suatu masyarakat dengan cara membangun jalan, jembatan, pabrik, dan sebagainya
(Halim, 2014:235) yang berdampak pula pada peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Untuk itu, seharusnya pemerintah daerah menjadikan alokasi belanja
modal daerah menjadi sebagai prioritas dalam menyusun kebijakan anggaran.
Hasil
penelitian (lihat, Zebua, 2014; Mizra, 2012; Hendarmin, 2012; Paramita, 2012;
Setyowati dan Yohana, 2012; Amalia, 2013; Rachmana, 2013) telah menunjukkan bahwa belanja modal berkaitan
erat dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat, dalam hal ini diukur dengan
Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Walaupun
hasil-hasil penelitian tersebut, masih menemukan tingkat hubungan yang masih
sangat kecil dibawah 25% hubungan terhadap IPM. Namun, hasil tersebut cukup
menjelaskan bahwa, memang ada hubungan antara belanja modal dengan peningkatan
IPM. Sehingga, hal tersebut memberikan informasi kepada pemerintah daerah untuk
lebih menekankan pengalokasian belanja modal lebih utama dibandingkan belanja lainnya.
Karena, semakin besar proporsi belanja modal yang ditetapkan, maka diasumsikan
akan memiliki hubungan semakin kuat pula terhadap peningkatan IPM. Meskipun,
terdapat pula penelitian yang menunjukkan sebaliknya bahwa belanja modal tidak
memiliki hubungan dengan IPM (seperti Ingrid, 2010; Badrudin, 2011; Syahril,
2011; Mawarni dkk., 2013; Irwan dan
Karmini, 2016; Dewi dan Supadmi, 2016). Hasil penelitian tersebut memberikan
informasi bahwa pengelolaan belanja modal daerah, belum menjadi prioritas
pemerintah daerah bersangkutan. Selain itu, dapat pula disebabkan belanja modal
yang dialokasikan tidak tepat sasaran. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah
daerah untuk menjadikan belanja modal sebagai prioritas belanja dan mendapatkan
porsi yang terbesar dari struktur belanja lainnya di APBD. Mengingat, belanja
modal erat kaitannya dengan kesejahteraan masyarakat, yang dalam artikel ini
dilihat dari peningkatan IPM.
DAFTAR PUSTAKA
Amalia.
2013. Analisis Pengaruh Belanja Modal terhadap PDRB Per Kpaita dan Implikasinya
pada Kualitas Pembangunan Manusia. Tesis.
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Tidak Dipublikasikan.
Badrudin, Rudy. 2011. Pengaruh Pendapatan dan Belanja Daerah
Terhadap Pembangunan Manusia Di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Buletin
Ekonomi, Jurnal Manajemen, Akuntansi, Dan Ekonomi Pembangunan, 9(1), h:
23-30.
Badrudin, Rudy. 2012. Ekonomika Otonomi Daerah. Yogyakarta:
UPP YKPN
Dewi, A. Agung I G dan Supadmi, l.
Niluh. 2016. Pengaruh Alokasi Belanja Rutin dan Belanja Modal pada Indeks
Pembangunan Manusia. E-Jurnal Akuntansi
Universitas Udayana. Vol.14.1. Januari (2016). Hal: 695-722.
Lugastoro, Dectra Pitron. 2013. Analisis Pengaruh PAD dan Dana
Perimbangan terhadap Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten/Kota di Jawa Timur.
Halim,
Abdul. 2008. Analisis Investasi (Belanja
Modal) Sektor Publik-Pemerintahan Daerah. Penerbit UP AMP YKPN: Yogyakarta.
Halim,
Abdul. 2014. Manajemen Keuangan Sektor
Publik: Problematika Penerimaan dan Pengeluaran Pemerintah (Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara/Daerah). Salemba Empat: Jakarta.
Hendarmin. 2012. Pengaruh Belanja Modal Pemerintah Daerah dan
Investasi Swasta terhadap Pertumbuhan Ekonomi, Kesempatan Kerja dan
Kesejahteraan Masyarakat di Kabupaten/Kota Provinsi Kalimantan Barat.
Jurnal EKSOS Vol. 8 No. 3 Hal. 144-145.
Irwan, P. I dan Karmini, L, N. 2016. Pengaruh
Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan terhadap Pertumbuhan Ekonomi dengan
Belanja Modal sebagai Variabel Intervening. E-Jurnal EP Unud, 5 [3] : 338-362.
Mawarni, Darwanis dan Abdullah, Syukriy. 2013. Pengaruh Pendapatan
Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum Terhadap Belanja Modal serta Dampaknya Terhadap
Pertumbuhan Ekonomi Daerah (Studi Pada Kabupaten/Kota di Aceh). Jurnal
Akuntansi. Pascasarjana Universitas Syah Kuala.
Mirza, Deni Sulistio. 2012. Pengaruh kemiskinan, pertumbuhan
ekonomi, dan belanja modal terhadap indeks pembangunan manusia di jawa tengah
tahun 2006-2009. Economics Development Analysis Journal 1, 2012.
Paramita, Ahsani. 2012. Analisis Dampak Realisasi APBD Terhadap
Indeks Pembangunan Manusia di Kota Makassar Periode 2000-2009. Makassar :
Universitas Hasanuddin.
_____Peraturan
Pemerintah No. 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP).
Komite Standar Akutansi Pemerintah.
_____Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
Setyowati, Lilis dan Yohana Kus Suparwati. 2012. Pengaruh
Pertumbuhan Ekonomi, DAU, DAK, PAD dengan Pengalokasian Anggaran Belanja Modal
sebagai Variabel Intervening (Studi Empiri pada Pemerintah Kabupaten dan Kota
se-Jawa Tengah). Jurnal Prestasi Vol. 9 No. 1.
Syahril. 2011. Pengaruh Pendapatan Asli Daerah dan Belanja Modal
terhadap Indeks Pembangunan Manusia pada Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera
Utara.
Zebua, Willman Fogati. 2014. Pengaruh Alokasi Belanja Modal,
Belanja Barang Dan Jasa, Belanja Hibah Dan Belanja Bantuan Sosial Terhadap
Kualitas Pembangunan Manusia (Studi Pada Kabupaten Dan Kota Di Wilayah Provinsi
Jawa Barat Tahun 2011 -2013). Fakultas Ekonomi dan Bisnis.Universitas
Brawijaya.
Thanks, saya tertarik dgn artikel, it;s verygood
BalasHapusCasino Nights Tickets & Promo Code - JTAHub
BalasHapusPlay Casino Nights for free at JTMH 광양 출장안마 for all your favorite slots, table 안동 출장마사지 games, video poker, blackjack, 평택 출장마사지 roulette and more. Don't miss out! 목포 출장안마 Click to enjoy the 구리 출장샵 VIP program!